Mafia Tanah Diduga Terlibat dalam Proyek Pagar Laut Tangerang, PIK-2 Jadi Sorotan

80tanah

Jakarta, pendawainvestigasi.com –  Fenomena aneh muncul di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten—sebuah pagar laut sepanjang 30 kilometer yang tiba-tiba berdiri kokoh di bibir pantai, menimbulkan tanda tanya besar.

Pagar yang dibangun tanpa pemberitahuan ini bahkan membuat pejabat tinggi negara terkejut, termasuk Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang mengaku tidak mengetahui proyek tersebut.

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono, langsung mengambil sikap tegas dengan menjanjikan pencabutan pagar tersebut jika terbukti tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Trenggono bahkan telah memerintahkan tim dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) untuk segera turun ke lapangan guna menyelidiki lebih lanjut.

Pagar laut ini ternyata tak hanya memunculkan kekhawatiran pemerintah, tetapi juga menimbulkan protes dari nelayan setempat yang merasa hak mereka terampas.

Akses mereka ke laut kini terhalang, yang berpotensi merugikan mata pencaharian mereka. Investigasi mendalam mengungkapkan dugaan bahwa pagar ini terkait erat dengan proyek besar Pantai Indah Kapuk (PIK)-2, yang melibatkan pengusaha Aguan dan Anthony Salim.

Nama Memet, warga Desa Lemo, disebut-sebut sebagai pengelola proyek ini atas perintah seorang tokoh yang dikenal sebagai Gojali alias Engcun, yang diduga memiliki hubungan dengan mafia tanah yang beroperasi di bawah kendali Ali Hanafiah Lijaya, tangan kanan Aguan.

Dugaan bahwa pagar laut ini sengaja dipasang untuk melindungi lahan bagi ekspansi proyek PIK-2 semakin menguat.

Namun, pihak-pihak yang diduga terlibat, seperti Gojali dan Ali Hanafiah, dikabarkan sudah menghilang, dan hal ini semakin memicu desakan agar pihak berwenang segera bertindak tegas.

Tak hanya mencabut pagar, beberapa pihak juga meminta agar pelaku dikenakan sanksi pidana, mengacu pada Pasal 106 KUHP yang mengancam pidana seumur hidup bagi siapa pun yang berusaha menyerahkan sebagian wilayah negara kepada pihak asing.

Selain itu, kasus ini juga sedang diproses dalam gugatan perdata yang diajukan terhadap Aguan dan pihak terkait. Gugatan ini menyoroti pelanggaran hak publik, seperti penutupan akses nelayan dan jalur laut yang sudah lama digunakan untuk melaut.

Jika dibiarkan, hal ini berpotensi mengancam kedaulatan negara dan hak masyarakat atas wilayah pesisir.

Kasus pagar laut di Tangerang ini bukan hanya soal pelanggaran administratif, tetapi juga cerminan dari ketidakmampuan negara dalam menghadapi kekuatan oligarki yang menguasai tanah dan wilayah strategis.

Pemerintah harus segera bertindak tegas, sebab ini bukan hanya soal melindungi hak masyarakat lokal, tetapi juga mempertahankan kedaulatan laut Indonesia dari pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi wilayah negara demi kepentingan pribadi.

Sebagai negara maritim, Indonesia harus memastikan bahwa kedaulatan atas laut adalah harga mati, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan harus dihentikan. (Nps)