Tragis! Siswa SD di Medan Dihukum Duduk di Lantai Karena Belum Bayar SPP: Kisah Pilu yang Viral di Media Sosial

siswa-sd-swasta-di-medan-disuruh-belajar-di-lantai-karena-tunggak-uang-sekolah-dok-istimewa_169

Jakarta, pendawainvestigasi.com – Kisah menyedihkan seorang siswa kelas 4 SD di Kota Medan menjadi perhatian publik setelah sebuah video viral di media sosial.

Dalam video tersebut, anak laki-laki berusia 10 tahun, yang disamarkan namanya menjadi Mail, dihukum wali kelasnya untuk duduk di lantai karena belum membayar uang SPP dan belum mengambil rapor.

Ibunda Mail, Lia, mengaku hatinya hancur mendengar pengakuan putranya. “Mak, aku malu, disuruh duduk di lantai karena belum ambil rapor,” ujar Mail kepada ibunya.

Lia yang bekerja sebagai relawan kesehatan dan suaminya yang berprofesi sebagai kuli bangunan memang berada dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Menurut Lia, kejadian tersebut bermula saat pihak sekolah swasta di Kecamatan Medan Johor mengumumkan bahwa siswa yang belum melunasi SPP tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran.

“Saya sempat meminta dispensasi kepada kepala sekolah agar anak saya tetap bisa ikut ujian, tetapi saat pembagian rapor saya belum mampu melunasi pembayaran. Karena itu, saya tidak berani ke sekolah,” ungkap Lia pada Jumat (10/1/2025).

Namun, ia tidak menyangka anaknya dihukum dengan cara seperti itu. Awalnya Mail tidak bercerita apa-apa, hingga akhirnya pihak sekolah kembali mengeluarkan pengumuman dalam grup WhatsApp wali murid.

Pengumuman tersebut menyatakan bahwa siswa yang belum membayar SPP, uang buku, atau menerima rapor tidak diizinkan mengikuti pelajaran.

Kemarahan Publik dan Respon Netizen
Video yang menunjukkan kemarahan Lia atas perlakuan tersebut menuai berbagai reaksi dari netizen.

Banyak yang mengkritik keras tindakan guru tersebut, menilai hukuman seperti ini tidak mendidik dan hanya menambah beban mental anak. Beberapa pihak juga menyoroti ketidakadilan dalam dunia pendidikan yang masih kerap terjadi di berbagai daerah.

Kejadian ini memicu diskusi publik mengenai relasi kuasa antara guru dan siswa, serta pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani masalah administrasi di lingkungan sekolah.

Apakah hukuman seperti ini benar-benar solusi, atau justru mempermalukan dan merusak psikologis anak?

Kasus ini menjadi pengingat bahwa akses pendidikan yang layak seharusnya menjadi hak semua anak tanpa diskriminasi.

Pengakuan Sang Ibu: “Saya Sampai Menangis”
Lia menceritakan, pada suatu pagi ia meminta Mail pergi ke sekolah lebih dahulu karena dirinya berencana menjual ponsel untuk membayar SPP.

Namun, respons sang anak mengejutkannya. “Mak, aku malu. Disuruh duduk di lantai gara-gara belum ambil rapor,” ungkap Mail, seperti diceritakan Lia.

Awalnya, Lia tidak percaya hingga ia datang langsung ke sekolah. Betapa terkejutnya ia saat melihat Mail belajar di lantai, sementara teman-temannya menggunakan meja dan kursi.

“Saya sempat menangis. Saya bilang, ‘Kok begini sekali, ya Allah.’ Ketika saya lihat dari pintu kelas, anak saya memang duduk di lantai. Saya bilang ke anak saya, ‘Kejam sekali gurumu, nak’,” ungkap Lia dengan nada sedih.

Pihak Sekolah dan Bantuan Relawan
Menurut Lia, wali kelas Mail menyatakan bahwa ada aturan di sekolah yang melarang siswa mengikuti pelajaran jika belum melunasi SPP. Bahkan, wali kelas itu menyebut Mail sudah diminta pulang tetapi memilih tetap bertahan di sekolah.

Namun, Lia menambahkan bahwa kepala sekolah mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut. “Kepala sekolah bilang, tidak ada aturan seperti itu di sekolah. Beliau juga mengatakan masalah uang sekolah jangan dipikirkan terlalu berat,” kata Lia.

Lia menyebut biasanya ia mendapatkan keringanan melalui bantuan KIP, tetapi karena belum cair pada tahun 2024, keluarganya kesulitan membayar SPP. Ia tetap berusaha meminta dispensasi kepada pihak sekolah agar anaknya bisa melanjutkan pendidikan tanpa hambatan.

Kritik dan Dukungan Publik
Kisah ini memicu reaksi luas di media sosial, dengan banyak pihak menyayangkan perlakuan terhadap Mail. Publik menyerukan agar lembaga pendidikan lebih manusiawi dalam menghadapi permasalahan administrasi siswa.

Peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya memastikan akses pendidikan yang adil, terutama bagi siswa dari keluarga prasejahtera. Pendidikan seharusnya menjadi ruang yang inklusif, bukan tempat yang mempermalukan mereka yang kurang beruntung.

Dukungan Relawan

Setelah kisah menyedihkan Mail, siswa kelas 4 SD di Medan yang dihukum duduk di lantai karena belum membayar SPP, viral di media sosial, sejumlah relawan mulai memberikan bantuan kepada keluarganya.

Mail dan adiknya, yang saat ini duduk di kelas 1 SD, masing-masing belum membayar SPP selama tiga bulan.

Lia, ibu mereka, menjelaskan bahwa biaya SPP anak-anaknya sebesar Rp60 ribu per bulan untuk Mail dan Rp70 ribu per bulan untuk adiknya. “Tadi ada relawan yang langsung menelepon dan melakukan video call. Mereka juga membantu biaya SPP anak saya,” ujar Lia dengan rasa syukur.

Perjuangan Dua Bersaudara yang Berjalan Kaki ke Sekolah
Mail dan adiknya selama ini pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Meskipun kondisi ekonomi keluarga mereka sulit, Lia mengungkapkan bahwa kedua anaknya memiliki semangat tinggi untuk belajar.

Tidak Ada Laporan Hukum, Hanya Harapan untuk Perubahan
Meski merasa kecewa dan sedih atas perlakuan yang diterima anaknya, Lia memilih untuk tidak melaporkan kasus ini ke ranah hukum. Ia hanya berharap wali kelas yang bersangkutan memiliki kebesaran hati untuk meminta maaf dan tidak mengulangi tindakan serupa di masa depan.

“Saya tidak ingin ini terjadi lagi pada anak lain. Saya hanya ingin kejadian seperti ini dihentikan dan tidak ada lagi korban seperti anak saya,” pungkas Lia.

Kisah ini menjadi pengingat akan pentingnya empati di lingkungan sekolah serta perlunya sistem pendidikan yang mendukung semua siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera.

Cak Imin: Guru Perlu Diedukasi, Sekolah Harus Jadi Ruang Pembentukan Karakter

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, atau yang akrab disapa Cak Imin, menekankan pentingnya edukasi bagi tenaga pendidik terkait kasus yang mencuat di sebuah sekolah.

Ia menyayangkan terjadinya tindakan yang kurang bijak dan mendorong adanya pendekatan yang lebih baik dalam menangani masalah di lingkungan pendidikan.

Menurut Cak Imin, komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua sangat penting untuk mencari solusi bersama terhadap berbagai persoalan yang muncul.

“Setiap masalah yang terjadi di sekolah harus dikomunikasikan dengan jelas agar dapat diselesaikan tanpa mengorbankan hak siswa,” ujar Cak Imin.

Ia juga mengingatkan bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat siswa memperoleh pengetahuan akademis, tetapi juga sebagai ruang untuk menanamkan nilai-nilai moral dan perilaku positif yang akan bermanfaat di kehidupan sehari-hari.

“Guru dan sekolah memiliki peran besar dalam membentuk karakter generasi muda. Oleh karena itu, pendekatan yang humanis dan mendidik harus selalu menjadi prioritas,” pungkasnya.

 

Wakil Ketua DPRD Sumut: Hukuman pada Siswa Tak Bisa Dibenarkan

Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara dari Fraksi Gerindra, Ihwan Ritonga, menyampaikan keprihatinannya atas perlakuan tidak adil yang dialami seorang siswa SD di Kota Medan. Ihwan mengunjungi rumah Lia, ibu dari anak tersebut, untuk mengetahui lebih lanjut peristiwa yang terjadi.

Anak Lia diketahui dihukum belajar di lantai hanya karena menunggak uang sekolah selama tiga bulan. “Kejadian ini sangat miris, apalagi terjadi di lingkungan pendidikan.

Hukuman seperti ini tidak hanya tidak pantas tetapi juga merusak psikologis anak. Niat dia belajar bagus, tetapi dihukum hanya karena kesulitan ekonomi orang tua. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Ihwan Ritonga dengan tegas.

Ia menambahkan, perlakuan seperti ini harus menjadi bahan evaluasi mendalam, baik untuk Dinas Pendidikan Kota Medan maupun Kementerian Pendidikan.

 “Sekolah tidak boleh memberikan hukuman seperti itu. Jika ada tunggakan, seharusnya disampaikan kepada orang tua tanpa melibatkan siswa. Ini menyangkut masa depan generasi bangsa,” jelas Ihwan.

Lebih jauh, Ihwan meminta Pemerintah Kota Medan memberikan teguran kepada pihak sekolah terkait. Ia juga berharap kejadian ini menjadi momentum introspeksi bagi semua sekolah, baik negeri maupun swasta, dalam menangani siswa yang menghadapi kesulitan ekonomi.

Sebagai bentuk tanggung jawab, Ihwan berkomitmen membantu menyelesaikan masalah tersebut. “Saya akan segera menghubungi Dinas Pendidikan untuk mengusut kasus ini.

Selain itu, saya berjanji menanggung biaya sekolah anak ini hingga lulus SD, yaitu sekitar dua tahun setengah ke depan. Keputusan apakah tetap di sekolah tersebut atau pindah, kami serahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga,” pungkasnya.

Kejadian ini menjadi sorotan penting terkait bagaimana lembaga pendidikan seharusnya bersikap lebih bijaksana dalam menangani persoalan ekonomi siswa tanpa merugikan hak mereka untuk belajar. (Nps)